Rabu, 31 Oktober 2012

Jalan Ruhani

Allah swt. mengajarkan dalam Al Qur’an agar manusia tidak hidup secara fisiknya saja, melainkan lebih dari itu, ruhaninya harus hidup. Menghidupkan ruhani tidak seperti menghidupkan fisik. Ruhani membutuhkan makanan khusus. Untuk memberikan makan kepada ruhani, manusia tidak bisa mengarang sendiri. Manusia membutuhkan tuntunan wahyu. Akal yang Allah swt. berikan kepada manusia tidak sanggup menyediakan makanan ruhani. Karena itu Allah swt. mengutus nabi-nabi, untuk mengajarkan manusia kebutuhan ruhani tersebut. Sayangnya, banyak manusia yang terlanjur menjadi materialistis. Mereka lupa kepada ruhaninya. Mereka tidak tahu bahwa dalam dirinya ada ruhani yang harus dipenuhi kebutuhannya. Akibatnya mereka hanya sibuk dengan fisiknya. Siang dan malam berkeja keras hanya untuk mengurus materi: kebutuhan perut dan lain sebagainya. Padahal kapasitas perut sangat terbatas. Sekaya apapun seorang manusia itu, ia tetap juga makan satu piring. Bila dipaksakan perut akan terasa sakit, dan bahkan akan menimbulkan penyakit. Dalam surah Asy Syams, ayat 9-10 Allah swt. berfirman “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” Jiwa adalah unsur ruhani. Perhatikan ayat ini betapa Allah swt. seringkali menggunkan kata an nafs (jiwa) dalam Al Qur’an dalam menggambarkan kebahagiaan. Bahwa kebahagiaan hakiki tidak terdapat dalam gemerlap harta. Kebahagiaan juga tida dapat diraih hanya dengan memenuhi hajat jasmani saja. Tetai kegahaiaan hakiki terdapat dalam kebersihan jiwa. Bahwa bersih tidaknya jiwa atau ruhani sangat menentukan kebahgaiaan. Silahkan cari dibalik segala kesenangan nafsu, anda tidak akan pernah mencapai kebahagiaan. Silahkan kejar kekayaan yang paling maksimal, itu tidak akan pernah memberikan kebahagiaan. Banyak peristiwa membuktikan bahwa justru orang-orang semakin menderita ketika mencapai puncak kekayaannya. Allah swt. yang menciptakan manusia, Dialah yang mengetahui kebutuhan hakiki manusia. Karena itu Allah swt. sediakan sarana ruhani berupa ibadah shalat menimal lima kali sehari. Shalat merupakan barometer semua ibadah. Dikatakan baromiter karena bila shalat seseorang baik, pasti ibadah yang lain akan baik. Tidak mungkin orang yang shalatnya baik, zakat, puasa dan hajinya tidak baik. Tidak mungkin orang yang shalatnya baik, akhlaknya tidak baik. Bila ada orang shalat, sementara akhlaknya tidak baik, itu pasti shalatnya tidak baik. Allah berfirman: (sesungguhnya shalat pasti akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar)” Al Ankabuut:45. Karena itu Rasulullah saw. bersabda: “Bahwa yang pertama kali kelak akan dihisab dari seorang hamba di hari Kiamat adalah shalatnya.” Mengapa shalat? Sebab shalat merupakan bukti kejujuran iman. Karena itu dalam banyak ayat Allah saw. selalu menekankan bahwa shalat yang diinginkan bukan sekedar shalat, melainkan shalat yang berkualitas. Kalau hanya sekedar shalat itu tidak akan mengantarkan kepada hakikat kepribadian seorang muslim sejati. Karena itu, kita sering menemukan banyak orang muslim yang shalat, tetapi tidak takut berbuat zina, korupsi dan lain sebagainya? Bahkan dengan terang-terangan menentang ajaran Allah swt. Benarkan shalat yang ia lakukan jujur? Tetapi mengapa kemaksiatan terus ia lakukan? Apakah firman Allah swt. salah ketika menegaskan bahwa, “Shalat pasti mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Atau shalatnya yang salah? Ia pura-pura shalat? Secara pasti Allah tidak mungkin salah berfirman. Dengan demikian ketika ada seorang yang shalat, tetapi terus berbuat maksiat, berarti shalatnya yang tidak jujur. Ia hanya shalat asal-asalan. Karena itu Allah swt. mengancam orang yang shalatnya asal-asalan. Dalam surah Al Ma’uun Allah swt. berfirman:“Fawailul lilmushalliin. alladziina hum ‘an shalaatihim saahuun (masuk neraka orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shlatanya).” Perhatikan kata saahuun dalam ayat di atas. Syaikh Ibn Asyuur mengatakan bahwa itu menunjukkan orang yang melaksanakan shalat tetapi dengan maksud riya’. Artinya sekedar formalitas ritual atau sekedar memenuhi kewajiban dan tidak mengharapkan pahala dari Allah swt. Akibatnya ia hanya shalat secara fisik saja. Ruhaninya kosong. Karena itu, shalat tersebut tidak memberikan dampak apa-apa dalam dirinya. Ia shalat, tetapi tetap tidak menemukan kebahagiaan. Ia shalat tetapi tetap suka melakukan dosa-dosa. Inilah model manusia yang oleh Allah swt. dikatakan sebagai alladziina hum ‘an shalaatihin saahuun. Kata “saahuun” artinya lalai. Lalai karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan di luar shalat. Lalai karena hanya memahami shalat sebatas ritual. Lalai karena mamaknai shalat secara sempit, sehingga ruang lingkup tunduk kepada Allah swt. hanya di masjid saja, sementara di luar masjid merasa tidak perlu mentaati Allah swt. Akal yang mana yang mengatakan bahwa tunduk kepada Allah swt. cukup hanya dengan formalitas ritual saja? Nabi yang mana yang mencontohkan bahwa mentaati Allah hanya cukup dalam shalat saja, di masjid saja? Maka kelalaian bukan saja berkaitan dengan pelaksanaan shalat, tetapi juga berkaitan dengan aktifitas di luar sholat. Orang yang sholat kemudian masih melaksanakan maksiat berarti orang tsb tidak menghargai sholatnya dan termasuk dalam kategori lalai yang diancam oeh Allah utuk dimasukkan ke dalam neraka.. Orang yang melaksanakan sholat hendaknya pandai menghargai sholat yang ia laksanakan, dengan menghiasi dirinya dengan ketaatan pada Allah secara maksimal. Antara sholat dan aktifitas keseharian kita di luar sholat harus mempunyai kaitan yang erat. Orang yang berusaha melaksanakan sholat dengan baik akan menjadi orang yang berprilaku baik dan menjalani kehidupannya dalam ketaatan. Dan orang yang senantiasa taat insya Allah sholatnyapun akan baik.. demikianlah betapa sholat menjadi barometer kebaikan seorang muslim. Jika sholatnya baik maka insya Allah ibadah-ibadah yang lainpun akan menjadi baik. Jika semua ibadah telah dilaksanakan dengan baik , itu berarti kita telah memenuhi hajat ruhani yang menjadi faktor utama dalam meraih kebahagiaan hakiki

Minggu, 28 Oktober 2012

Hewa Qurban Masjid Al-Hamidy Meningkat

Pelaksanaan sholat Id yang dilaksanakan bertepatan dengan hari jumat tidak mengurangi semangat jamaah untuk melaksanakannya. Di masjid Pusaka Al- Hamidy Pagutan pelaksanaan terbagi menjadi dua tahap jam 07.00 untuk jamaah putri dan 07.30 bagi laki-laki. Bertindak sebagai khotib Penghulu Masjid Al-Hamidy Ustad Habibul Badawi, S.IP

Setelah sholat id, dilaksanakan pemotongan hewan qurban. Hewan qurban yang terkumpul sampai dengan Idul Adha sebanyak 12 ekor kambing dan 4 ekor sapi. Pemotongan sendiri terbagi menjadi dua tahap juga. Pemotongan kambing sebanyak 12 ekor pada hari jumat dan dibagikan-bagikan pada kaum dhuafa yang ada di lingkungan tersebut

Sementara pemotongan hewan qurban sapi dilaksanakan pada hari sabtu 27 oktober 2012. Pelaksanaan pemotongan diawali dengan upacara sederhana berupa penyerahan secara simbolis dari pemberi hewan qurban kepada penghulu masjid. Demikian juga saat pemotongan hewan qurban kambing.
Dibanding tahun lalu jumlah hewan qurban yang dilaksanakan lebih banyak, menurut Ustad Habibul Badawi “Dari segi jumlah dan peruntukan memang lebih banyak hewan qurban dan penerima dibanding tahun-yahun sebelumnya”. Seluruh masyarakat mendapatkan bagian hewan qurban. Sementara kaum dhuafa mendapatkan dua kali.

Sementara itu pemotongan hewan qurban di Masjid komplek perumahan BTN Permai Pagutan dilaksanakan selama tiga hari. Jumlah hewan qurban yang terkumpul cukup banyak sehingga pemotongan dan pendistribusian berlangsung selama 3 hari, jawab Agus sealah satu panitia di

Senin, 15 Oktober 2012

Tentang Tanda Haji Mabrur

Ajaran Islam dalam semua aspeknya memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh para ulama dengan maqashid syari’ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun maslahat akhirat, orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits qudsi),

قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِى الصَّالِحِينَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Allah berfirman (yang artinya): Telah Aku siapkan untuk hamba-hambaKu yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terdetik di hati manusia.”

Untuk haji secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ

Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”

Adapun di dunia, banyak maslahat yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti menambah teman, bertemu dengan ulama dan keuntungan berdagang.

Di samping itu, Allah juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga ia bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.

Tidak Semua Orang Meraih Haji Mabrur

Setiap orang yang pergi berhaji mencita-citakan haji yang mabrur. Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah.  Mabrur berarti diterima oeh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Ta’ala.

Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.”

Tanda-Tanda Haji Mabrur

Nah, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang.

Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:

Pertama: Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.

Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api. Ibnu Rajab mengucapkan sebuah syair

Jika anda haji dengan harta tak halal asalnya.

Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda.

Allah tidak terima kecuali yang halal saja.

Tidak semua yang haji mabrur hajinya.

Kedua : Amalan-amalannya dilakukan dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam . Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dijalankan, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusnya yang telah ditentukan.

Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi, “Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jamaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah.”

Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya, dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah salah.

Ketiga : Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.

Ibnu Rajab berkata, “Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.

Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab,

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيبُ الْكَلاَمِ

Memberi makan dan berkata-kata baik.”

Keempat : Tidak berbuat maksiat selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan  jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.

Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.”

Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.

Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.

Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, bersenggama dengam pasangan kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.

Demikian juga, orang yang ingin hajinya mabrur harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid’ah maupun maksiat.

Kelima : Setelah haji menjadi lebih baik
Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah tidak menerima amalannya.

Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jamaah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.

Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya.

Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal  yang lebih mantap dan  benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.

Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah Ta’ala. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia.

Al-Hasan al-Bashri mengatakan, “Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat.” Ia juga mengatakan, “Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji.”

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, “Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran.


Jumat, 12 Oktober 2012

KPU Kota Mataram Buka Pendaftaran PPS dan PPK

Pemilihan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat yang akan diselenggarakan pada bulan Mei 2013 tahun depan. Pihak Komisi Pemilihan Umum Kota Mataram membuka pendaftaran untuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tingkat kecamatan dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat kelurahan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB tahun 2013
Surat dari KPU dengan nomor 270/186/KPU-MTR/X2012 perihal Pendaftaran PPK/PPS tertanggal 8 Oktober 2012 yang ditujuakn kepada seluruh Camat dan Lurah se-kota Mataram. Pendaftaran dibuka dari tanggal 8 s/d 15 Oktober 2012. Para pendaftar akan mengisi beberapa formulir yang disediakan di setiap kelurahan.
Dalam persyaratan pendaftaran bagi PPS dan PPK hampir sama, yang berbeda hanya pemilihan PPK atau PPS dalam pendaftaran. Adapun syarat-syaratnya : WNI berusia minimal 25 th, mengisi beberapa formulir, fotocopy KTP, dan pas photo ukuran 4 x 6 cm. Pendaftaran dibuka sampai dengan tanggal 15 Oktober 2012 dari 08.00 – 16.00 wita di KPU Kota Mataram
PPK dan PPS ini akan bekerja dalam masa bakti 8 bulan dengan honorarium berkisar RP.750.000 (anggota) dan Rp. 1.000.000 (ketua) untuk PPK dan 600.000 (anggota) dan 750.000 (Ketua) untuk PPS.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Tradisi Mengisi Sahra


Tradisi mengemas perlengkapan ibadah haji di masyarakat lombok dikenal dengan istilah isi sahra. Mengemas dan mengatur segala perlengkapan selama ditanah suci baik untuk keperluan ibadah atau digunakan sehari-hari perlu ditata sedemikian rupa. Hal ini disebabkan karena bagasi / koper besar yang digunakan untuk mengemas barang tidak dapat dibuka kecuali sampai pemondokan ditanah suci.

Kegiatan dalam mengisi sahra ini biasanya calon jamaah haji mengundang tokoh agama dan masyarakat. Kegiatan dimulai dengan mengumpulkan peralatan yang akan dibawa dan dipilah mana yang masuk ke koper atau jinjingan. Pada kesempatan tersebut, calon jaaah haji mendengarkan informasi letak barang dan kapan barang-barang tersebut digunakan.

Saat ditanya salah satu tokoh agama, H Abd. Rachman tentang tradisi sahra tersebut, kakek paruh baya ini mengatakan tradisi isi sahra ini bertujuan untuk mohon do’a dari para undangan untuk dimudahkan dalam pelaksanaan manasik haji.

Dalam ketentuan berat bagasi yang sudah ditentukan, barang bawaan calon jamaah haji dibatasi sampai dengan 25 kg. Disamping peralatan manasik haji, pakaian sehari-hari, beras dan lauk dapat masukkan dalam koper asal dikemas baik agar tidak mengotori pakaian. Sementara untuk peralatan memasak dapat seperti kompor, panji dan lainnya dapat dibeli di tanah suci lanjut H. Abd. Rachman

Komunitas Blog Kampung Media

http://www.youtube.com/watch?v=vG8vV27O8mI. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers