Saat ini jutaan ummat muslim
berkumpul di tanah suci untuk
melaksanakan ibadah haji. Mereka datang ke tanah suci untuk memenuhi panggilah
ilahi. Suatu pangilan yang dirindukan oleh setiap insan muslim, dimanapun ia
berada dan apapun keadaannya. Tidak ada seorangpun yang yang mengaku beriman
kecuali ia pasti rindu untuk melaksanakan ibadah haji. Haji memang istimewa,
karena mengandung banyak makna. Dan makna-makna yang terkandung dalam ritual
ibadah haji tidak hanya harus dipahami oleh jamaah yang melaksanakan ibadah
haji, namun semua orang yang mengaku beriman hendaknya berusaha untuk menggali
makna dan nilai yang terkandung dalam ibadah haji. Makna-makna yang terdapat
dalam ibadah haji sangat erat kaitannya dengan sejarah Nabi Ibrahim
‘alaihissalaam. Maka memahami makna-makna yang terkandung dalam ibadah haji,
membutuhkan pemahman secara khusus tentang sejarah Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam
dan ajarannya, karena praktek-praktek
ibadah haji berkaitan erat dengan pengalaman-pengalaman yang dialami
oleh Nabi Ibrahim bersama keluarganya.
Dalam
sejarah kemanusian, Nabi Ibrahim dikenal seagai Bapak para Nabi, juga Bapak
Monotheisme, yaitu ajaran yang menyangkut keyakinan hanya pada Tuhan Yang Esa.
Ajaran Nabi Ibrahim merupakan lembaran baru dalam sejarah kepercayaan manusia.
Jika sebelumnya manusia terbelenggu dalam penyembahan terhadap berhala, maka
Nabi Ibrahim ‘alaikissalam membebaskan mereka dari belenggu kepercaan kepada
berhala menuju keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan yang diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim
bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, akan tetapi
Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang dekat dengan manusia tanpa perantara,
Tuhan yang menyertai mereka secara keseluruhan dan orang perorang, sendirian
atau ketika dalam berkelompok, pada saat diam atau bergerak, dalam tidur atau
dalam keadaan terjaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah
kehidupan dan kematiannya.
Nabi
Ibrahim ‘alaihissalaam datang mengumandangkan neraca keadilah Ilahi, yang
mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapapun kuatnya
seseorang, Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorng yang paling lemah
sekalipun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan
si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau
menganugrahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang
ditetapkan-Nya.
Nabi
Ibrahim hadir dipentas kehidupan dimana tradisi menghorbankan manusia sebagai
sesajen masih berlaku. Nabi ibrahim kemudian membatalkan tradisi itu dengan
melarang mengorbankan manusia sebagai sesajen, bukan saja karena manusia
terlalu tinggi nilainya sehingga tidak pantas untuk dikorbankan, tetapi kaena
Tuhan Maha Pengasih lagi Maha penyayang. Putranya Ismail diperintahkan Tuhan
untuk dikorbankansebagai pertanda bahwa apapun –bila panggilan telah tiba wajar
untuk dikorbankan demi dan karena Allah-. Setelah perintah itu dilakukan dengan
sepenuh hati oleh nabi Ibrahim dan putranya Ismail, Tuhan dengan kekuasaan-Nya
menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantikannya dengan domba, sebagai
pertanda bahwa hanya karena kasih sayang-Nya pada manusia, maka praktek
pengorbanan seperti itupun kemudia dilarang.
Nabi
Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan
pengalaman-pengalaman kerohanian, sehingga Ia smpai kepada keyakinan akan Tuhan
yang Maha Esa. Hal ini sebagaimana digambarkan dalan Al_Quran Surat Al An’am
dari ayat 74 sampai ayat 79 :
“Dan (ingatlah) diwaktu
Ibrahim berkata kepada bapaknya Azaar : Pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan ? sesungguhnya Aku melihat kamu dan kaummu dalam
kesesatan yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim
tanda-tanda keagungan (kami yang terdapat) di langit dan di bumi dan (Kami
memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika
malam telah menjadi gelap, dia meliahat sebuah bintang (lalu) dia berkata :”
Inilah Tuhanku”, tetapi ketika bintang it tenggelamdia berkata :“Saya tidak
suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit dia
berkata :”Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata :
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku
termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudia tatkala ia melihat matahari terbit
dia berkata:”Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu
telah terbenam, dia berkata: “ Hai kaumku sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan
aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Demikianlah
diantara sebagian kecil dari keistimewaan Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam, sehingga
wajar jika beliau dijadikan teladan seluruh manusia, seperti yang ditegaskan Al
Quran Surat Al Baqarah ayat 127 :
“Dan ingatlah, ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa) :
“Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Keteladan nabi Ibrahim kemudia
diwujudkan dalam bentuk ibadah haji dengan berkunjung ke Mekah karena beliulah
bersama putranya Ismail yang membangun Ka;bah dan beliau pulalah yang diperintahkan untuk mengumandangkan
syariat haji. Keteladanan yang diwujudkan dalam bentu ibadah haji yang
praktek-praktek ritualnya berkaitan dengan peristiwa yang beliau dan keluarga
alami, pada hakikatnya merupakan penegasan akan ajaran dan prinsip-prinsip yang
dianut oleh Nabi Ibrahim yang intinya adalah :
- Pengakuan
akan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan
baik berupa patung-patung, bintang , bulan dan matahari bahkan segala
sesuatu selain Allah.
- Keyakinan
akan neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan
diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkita kelak.
- Keyakinan
tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam
kemanusiaan seseorang dengan lainnya di hadapan Tuhan, betapun terdapat
perbedaan di antara mereka.
Ketiga inti ajaran Nabi
Ibrahim ini tercermin dengan jelas atau dilambangkan dalam praktek-praktek
ibadah haji.