Pernahkah kita tafakkur dengan khusus’ sampai kita menemukan pertalian antara keberadaan Allah Swt dengan diri kita ?, sampai kita menemukan pertalian kasih sayang antara Junjungan Alam Nabi Besar Muhammad saw dengan ummatnya ?. Upaya tafakkur ini merupakan amalan yang sangat dianjurkan oleh agama kita, demikian banyak ayat al Qur’an yang mempertanyakan hal ini – afalaa tatafakkaruun. Tafakkur inilah yang akan mengantarkan kita kepada kondisi batin dalam beragama, sehingga kita tidak terjebak pada kondisi ubudiah yang kosong tanpa makna.
Tafakkur tidak sekedar berfikir, tetapi melibatkan keseluruhan potensi rohani kita, akal, budi, perasaan, nurani tertuju pada satu iktikad memahami diri dalam genggaman KuasaNya. Menghayati makna Laa ilaaha illallah – dan La haula walaa quwwata illa billah. Tafakkur merupakan salah satu media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zat yang Maha Luhur yang kasihNya meliputi seluruh kehidupan bahkan dengan sifat MagfirahNya, murkaNya terhadap keingkaran dan kezaliman hamba Nya dikalahkan oleh Kasih-Nya.
Jauh dekatnya perasaan kita terhadap Allah sangat tergantung pada kejernihan hati kita dalam memuji Nya. Segala puji bagi Allah sebelum semua ucapan. Sabda Rasulullah Saw, “segala sesuatu yang penting tanpa dimulai dengan mengingat Nya, maka sesuatu itu akan punah, terputus tanpa makna”. Dengan demikian, maka memulai sesuatu dengan memuji Allah Swt meru- pakan sikap dan kesadaran yang harus mewarnai hidup seseorang yang mengaku beriman. Hal tersebut merupakan hak Allah yang harus kita jaga jika kita berharap ridhaNya. Mengenai hak Allah ini, Rasulullah bersabda :
“Apakah kalian tahu, apakah hak Allah atas para hambanya ? Hak Nya adalah agar kalian menyembah dan tidak mempersekutukannya dengan yang lain” (H.R. Muslim)
Hakikat menyembah dan tidak mempersekutu – kan Nya dalam hal ini adalah mewujudkan perilaku keberimanan kita terhadap Allah dan RasulNya dengan melaksanakan kewajiban azasi penciptaan manusia sebagaimana firmanNya
“Sesungguhnya aku tidak menciptakan bangsa jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu”
Dalam konteks menjaga hubungan dengan Allah ini, sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan puji dan sembah kita. Allah Swt tidak akan menjadi lebih kecil jika kita tidak mempedulikanNya atau sebaliknya, tetapi sebenarnya kebesaran Allah Swt akan dianugrahkan berupa kemuliaan kepada hambaNya yang taqwa. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman :
“Wahai hambaku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian bangsa jin dan manusia adalah orang yang paling bertaqwa, maka sedikitpun tidak akan menambah besar kerajaanku, dan wahai hambaku, jika orang pertama dan terakhir dari kalian adalah orang-orang yang paling jahat, maka tidak sedikitpun akan mengurangi kerajaanKu karenanya” (H.R. Muslim)
Dalam kehidupan kita sehari-hari kesadaran kehambaan dan menjaga hak-hak Allah Swt harus merupakan acuan nilai utama dalam merasa, berfikir dan bertindak. Hak-hak Allah tersebut selanjutnya terkodifikasi dalam sistem yang merupakan pilar menegakkan agama Allah yaitu melaksanakan perintahNYa dan menjauhi laranganNya, dan hal inilah yang diamanatkan oleh Allah Swt kepada hambanya, sebagaimana firmannya dalam surat An-nisa ayat 131 :
„Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji“.
Dalam memahami kasih sayang dan Rahmat Allah sebagai penghargaan terhadap ketaqwaan, janganlah terpedaya dengan pandangan dunia. Allah menjanjikan keamanan, keberuntungan dan kebahagiaan bagi hambanya yang taqwa. Keamanan, keberuntungan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah kondisi ukhrawi- yah yang kita rasakan nuansanya di dunia dan akan kita peroleh di akhirat kelak. Nuansa itu terrefleksi dari perasaan batin yang tidak merasa kekurangan walaupun menurut ukuran dunia kita miskin, tidak merasa rendah diri walaupun menurut ukuran dunia kita jelata, tidak merasa was-was dan khawatir walaupun dunia demikian bejat dan jahat menista kita.
Demikian juga sebaliknya, janganlah kita terbius oleh harta, kekuasaan, kemuliaan duniawi, sampai kita lupa menjaga hak Allah di dalamnya. Dalam harta ada hak Allah yang harus disedekahkan dan dizakatkan. Dalam kemuliaan yang diberikan manusia ada hak Allah untuk menegakkan kemuliaan berdasarkan citra Allah dan RasulNya, Dalam kekuasaan yang kita miliki ada hak Allah untuk mewujudkan rahmatan lil alamin dari keberadaan kita sebagai penguasa. Dengan sikap ini maka tidak akan ada sikap diskriminatif dalam kehidupan sosial, tidak akan ada kultus atau penghargaan yang berlebihan kepada sesama manusia, dan ujungnya adalah kedamaian, kebahagiaan dalam kebersamaan yang dilandasi oleh Iman dan kasih sayang. Dan kondisi yang demikian merupakan nuansa kebahagiaan ukhrawi yang dijanjikan Allah kelak di Surga.
Demikianlah pribadi orang yang istiqamah menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hak-hak Allah Swt. Semoga kita diberikan hidayah untuk menjadi manusia yang selalu bertfakkur, bertakarrub dan dapat menuai kebahagiaan ukhrawi dan terbebas dari tipu daya dunia. Amin.
Tafakkur tidak sekedar berfikir, tetapi melibatkan keseluruhan potensi rohani kita, akal, budi, perasaan, nurani tertuju pada satu iktikad memahami diri dalam genggaman KuasaNya. Menghayati makna Laa ilaaha illallah – dan La haula walaa quwwata illa billah. Tafakkur merupakan salah satu media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Zat yang Maha Luhur yang kasihNya meliputi seluruh kehidupan bahkan dengan sifat MagfirahNya, murkaNya terhadap keingkaran dan kezaliman hamba Nya dikalahkan oleh Kasih-Nya.
Jauh dekatnya perasaan kita terhadap Allah sangat tergantung pada kejernihan hati kita dalam memuji Nya. Segala puji bagi Allah sebelum semua ucapan. Sabda Rasulullah Saw, “segala sesuatu yang penting tanpa dimulai dengan mengingat Nya, maka sesuatu itu akan punah, terputus tanpa makna”. Dengan demikian, maka memulai sesuatu dengan memuji Allah Swt meru- pakan sikap dan kesadaran yang harus mewarnai hidup seseorang yang mengaku beriman. Hal tersebut merupakan hak Allah yang harus kita jaga jika kita berharap ridhaNya. Mengenai hak Allah ini, Rasulullah bersabda :
“Apakah kalian tahu, apakah hak Allah atas para hambanya ? Hak Nya adalah agar kalian menyembah dan tidak mempersekutukannya dengan yang lain” (H.R. Muslim)
Hakikat menyembah dan tidak mempersekutu – kan Nya dalam hal ini adalah mewujudkan perilaku keberimanan kita terhadap Allah dan RasulNya dengan melaksanakan kewajiban azasi penciptaan manusia sebagaimana firmanNya
“Sesungguhnya aku tidak menciptakan bangsa jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu”
Dalam konteks menjaga hubungan dengan Allah ini, sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan puji dan sembah kita. Allah Swt tidak akan menjadi lebih kecil jika kita tidak mempedulikanNya atau sebaliknya, tetapi sebenarnya kebesaran Allah Swt akan dianugrahkan berupa kemuliaan kepada hambaNya yang taqwa. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman :
“Wahai hambaku, seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian bangsa jin dan manusia adalah orang yang paling bertaqwa, maka sedikitpun tidak akan menambah besar kerajaanku, dan wahai hambaku, jika orang pertama dan terakhir dari kalian adalah orang-orang yang paling jahat, maka tidak sedikitpun akan mengurangi kerajaanKu karenanya” (H.R. Muslim)
Dalam kehidupan kita sehari-hari kesadaran kehambaan dan menjaga hak-hak Allah Swt harus merupakan acuan nilai utama dalam merasa, berfikir dan bertindak. Hak-hak Allah tersebut selanjutnya terkodifikasi dalam sistem yang merupakan pilar menegakkan agama Allah yaitu melaksanakan perintahNYa dan menjauhi laranganNya, dan hal inilah yang diamanatkan oleh Allah Swt kepada hambanya, sebagaimana firmannya dalam surat An-nisa ayat 131 :
„Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh kami Telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji“.
Dalam memahami kasih sayang dan Rahmat Allah sebagai penghargaan terhadap ketaqwaan, janganlah terpedaya dengan pandangan dunia. Allah menjanjikan keamanan, keberuntungan dan kebahagiaan bagi hambanya yang taqwa. Keamanan, keberuntungan dan kebahagiaan yang dimaksud adalah kondisi ukhrawi- yah yang kita rasakan nuansanya di dunia dan akan kita peroleh di akhirat kelak. Nuansa itu terrefleksi dari perasaan batin yang tidak merasa kekurangan walaupun menurut ukuran dunia kita miskin, tidak merasa rendah diri walaupun menurut ukuran dunia kita jelata, tidak merasa was-was dan khawatir walaupun dunia demikian bejat dan jahat menista kita.
Demikian juga sebaliknya, janganlah kita terbius oleh harta, kekuasaan, kemuliaan duniawi, sampai kita lupa menjaga hak Allah di dalamnya. Dalam harta ada hak Allah yang harus disedekahkan dan dizakatkan. Dalam kemuliaan yang diberikan manusia ada hak Allah untuk menegakkan kemuliaan berdasarkan citra Allah dan RasulNya, Dalam kekuasaan yang kita miliki ada hak Allah untuk mewujudkan rahmatan lil alamin dari keberadaan kita sebagai penguasa. Dengan sikap ini maka tidak akan ada sikap diskriminatif dalam kehidupan sosial, tidak akan ada kultus atau penghargaan yang berlebihan kepada sesama manusia, dan ujungnya adalah kedamaian, kebahagiaan dalam kebersamaan yang dilandasi oleh Iman dan kasih sayang. Dan kondisi yang demikian merupakan nuansa kebahagiaan ukhrawi yang dijanjikan Allah kelak di Surga.
Demikianlah pribadi orang yang istiqamah menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hak-hak Allah Swt. Semoga kita diberikan hidayah untuk menjadi manusia yang selalu bertfakkur, bertakarrub dan dapat menuai kebahagiaan ukhrawi dan terbebas dari tipu daya dunia. Amin.