Minggu, 06 November 2011

Ibrahim dan Ajaran Monoteisme

Pada saat ini ribuan bahkan jutaan ummat muslim sedunia sedang berada ti tanah suci Mekkah, dalam rangka memenuhi panggilan suci, Allah rabbul ‘izzati, untuk melaksanakan ibadah haji. Mereka berbondong-bondong memadati tanah suci sampai dimulainya wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini berkaitan dengan firman Allah dalam surat Al haj ayat 27-28 :

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan  atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak  Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.

Ibadah haji merupakan ibadah yang terpadu di dalamnya taklufah mâliyyah (pengorbanan harta), ibâdah jasadiyyah (pengabdian fisik), dan ibâdah rûhiyyah (pengabdian spiritual) kepada Allah. Pengorbanan harta, karena orang yang berangkat haji harus mengeluarkan biaya perjalanan, akomodasi dan lain-lain dalam jumlah besar. Pengabdian fisik, karena selama menjalankan ibadah haji, seorang dihadapkan pada udara yang dingin sekali atau panas sekali di Tanah Haram, kerumunan manusia yang sangat banyak hingga sering terjadi antrian panjang, berjejal-jejal, dan menyesakkan. Maka diperlukan fisik yang sehat dan kuat sehingga mampu melaksanakan serangkaian ritual haji. Pengabdian spiritual, karena setiap muslim yang melaksanakan haji harus memulai ibadahnya dengan tulus ikhlas beribadah hanya kepada Allah, selama di Tanah Suci mempertebal olah batin dengan zikir, istighfar, tahlil, tahmid, takbir, serta membersihkan hati sebersih-bersihnya. Rangkaian ibadah haji mencerminkan miniatur rangkaian hidup kita yang menyatu di dalamnya aspek material dan spiritual, lahir dan batin.

Ritual haji merupakan praktik ibadah yang tidak dapat lepas dari sejarah Nabi Ibrahim a.s.. Hampir semua rukun dan wajib haji yang dilakukan jama’ah haji berkaitan dengan pengalaman-pengalaman yang dialami Nabi Ibrahim, bersama keluarganya. Ibadah Sa'i mengikuti jejak pengalaman Siti Hajar, Istri Ibrahim, yang mencari air untuk putra tercintanya, Ismail (Q.S. al-Baqarah/2: 158). Ibadah lempar jumrah mengikuti pengalaman Ibrahim ketika diganggu setan dalam melaksanakan perintah Allah. Menyembelih binatang kurban mengikuti pengalaman Ibrahim yang diperintahkan untuk berkurban (Q.S. al-shafât/37: 107).

Ibrahim a.s. dikenal sebagai Bapak para nabi, dan Bapak monotheisme, serta “proklamator keadilan Ilahi”. Semua agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam merujuk kepada beliau. Tentang kebesaran sosok Ibrahim. Abbas Muhammad Aqqad menulis:

“Penemuan yang dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar dan yang tak dapat diabaikan para ilmuwan atau sejarawan. Penemuan Ibrahim tidak dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia atom betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut, ... yang itu dikuasai manusia, sedangkan penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia. Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk pada alam, menjadi mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya, penemuan yang itu dapat menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tapi kesewenang-wenangan ini tak mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim as. itu tetap menghiasi jiwanya ... penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tak diketahuinya, berkaitan dengan kedudukannya sebagai makhluk dan hubungan makhluk ini dengan Tuhan, alam raya dan makhluk-makhluk sesamanya ...”

Itulah penemuan tentang hakekat Tuhan. Dia adalah Tuhan Yang Esa sang Pencipta sekaligus Pemelihara alam semesta serta isinya. Kepastian yang dibutuhkan ilmuwan menyangkut hukum-hukum dan tata kerja alam ini, tak dapat diperolehnya kecuali melalui keyakinan tentang ajaran Bapak monotheisme itu. Sebab segala kepastian itu menjadi sirna dan hancur bila ada penemuan yang mengatakan alam ini diatur oleh banyak tuhan. 

Dengan demikian ajaran tauhid Ibrahim as. bukan sekedar hakikat keagamaan yang besar, tapi sekaligus penunjang akal ilmiah manusia sehingga lebih tepat, lebih teliti lagi, lebih meyakinkan. Apalagi Tuhan yang diperkenalkan Ibrahim as. bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau golongan tertentu manusia, tapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan   yang dekat dengan manusia, menyertai mereka semua secara keseluruhan dan orang per orang, sendirian atau ketika dalam kelompok, pada saat diam atau bergerak, tidur atau jaga, pada saat kehidupannya, bahkan sebelum dan sesudah kehidupan dan kematiannya. Bukannya Tuhan yang sifat-sifat-Nya hanya monopoli pengetahuan para pemuka agama, atau yang hanya dapat dihubungi mereka, tapi Tuhan manusia seluruhuya secara universal.

Ibrahim datang mengumandangkan keadilan Ilahi, yang mempersamakan semua manusia dihadapan-Nya, sehingga betapa pun kuatnya seseorang. Ia tetap sama di hadapan Tuhan dengan seseorang yang paling lemah sekali pun, karena kekuatan si kuat diperoleh dari pada-Nya, sedangkan kelemahan si lemah adalah atas hikmah kebijaksanaan-Nya. Dia dapat mencabut atau menganugerahkan kekuatan itu pada siapa saja sesuai dengan sunnah-sunnah yang ditetapkan-Nya.Allah SWT berfirma dalam surat Ali Imron ayat 36 :

 "Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". Q.S. Ali Imrân/3: 26.

Maka semua jama'ah haji ketika melaksanakan ibadah haji, meneguhkan kembali tentang prinsip-prinsip tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Ibrahim yang meliputi:  1). Pengakuan Keesaan Tuhan, serta penolakan terhadap segala macam dan bentuk kemusyrikan baik berupa patung-patung, bintang, bulan dan matahari bahkan segala sesuatu selain dari Allah. 2). Keyakinan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini, yang puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak. 3) Keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal, tiada perbedaan dalam kemanusiaan seseorang dengan lainnya, betapa pun terdapat perbedaan antar mereka dalam hal-hal lainnya.

Keyakinan akan keesaan Tuhan juga mengantar manusia untuk menyadari, bahwa semua manusia dalam kedudukan yang sama dari segi nilai kemanusiaan, karena semua mereka diciptakan dan berada di bawah kekuasaan Allah swt.. Dalam firman-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. al-Hujurat/49 13) . Dalam ayat tsb menunjukkan betapa erat kaitan antara keyakinan akan keesaan Tuhan dengan persamaan nilai kemanusiaan.

Demikianlah diantara pelajaran yang paling utama yang bisa  kita petik dari pelaksanaan ibadah haji. Betapa kita harus membangun keyakinan kita akan keagungan Allah yang Maha Esa. Tiada sekutu baginya. Dialah tempat kita bersandar dan kepada-Nyalah kita kembali. Selain itu betapa sesungguhnya dihadapan Tuhan kedudukan kita kita sama dan satu-satunya yang membuat kita berbeda di hadapan Allah  adalah ketaqwaan kita kepada-Nya. Mudah-mudahan Allah memberikan kita dzurriyah thayyibah yang menyejukkan hati dan menjadikan kita pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Kampung Media

http://www.youtube.com/watch?v=vG8vV27O8mI. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers