Jumat, 14 Mei 2010

TENTANG MANISNYA IMAN

Sebagian besar dari kita, bahkan hampir semua kita menjadi muslim melalui jalur keturunan. Kita menjadi muslim karena terlahir dari orang tua yang muslim. Dan ini sungguh merupakan nikmat yang tak ternilai harganya. Apatah lagi dengan kita yang terlahir di kampung ini. Kampung yang nuansa beragamanya sangat kental, bahkan kita kerap mendengar kampung kita ini dijuluki dengan istilah “Mekah Kodeq”, sebuah julukan yang menunjukkan nuansa agama yang sangat kental. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kegiatan-kegiatan keagamaan dan menjamurnya kelompok-kelompok pengajian, dari kelompok pengajian muda sampai kelompok pengajian orang-orang tua. Di kampung ini, Insya Allah, setiap anak sudah mulai akrab dengan al Qur’an sejak dini, sehingga kita jarang menemukan ada anak yang tidak bisa membaca Al Qur’an. Sungguh ini merupakan anugrah dan ni’mat dari Allah yang Maha Agung. Dan nikmat yang besar ini, sudahkah kita benar-benar mensyukurinya ?. Kita memang sudah membaca Al Quran, akan tetapi sudahkan kita merasakan manfaat dari bacaan Al Quran kita ? seberapa jauh iman kita bertambah dengan bacaan kita ? sudahkah kita merasakan nikmatnya menjadi orang yang beriman ?. Jangan-jangan kita hanya baru sampai pada tahap sekedar membaca, sehingga iman kita tidak kunjung bertambah. Jika demikian halnya , maka boleh jadi hal ini mendekati apa yang telah diprediksi kan oleh Baginda Nabi saw, bahwa kelak akan datang suatu masa dimana orang-orang muslim sama-sama membaca Al Quran secara verbal akan tetapi Al Quran itu tidak sampai ketenggorokannya, apalagi akan sampai membawa pengaruh ke dalam hatinya . Bacaannnya tidak membuat keimanannya semakin bertambah, sehingga iapun tidak dapat merasakan manisnya iman. Hal ini disebabkan karena kita tidak sungguh-sungguh meningkatkan keimanan kita. Kita cukup merasa puas dengan keislaman kita yang kita dapatkan dari kedua orang tua kita. Padahal, menjadi muslim tidaklah cukup hanya karena keturunan. Kita harus berusaha meningkatkan keimanan secara maksimal, baru kita akan merasakan manisnya iman. Untuk itu mari sejenak kita renungkan hadis Rasulullah berikut ini, dimana beliau bersabda :

"Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu : Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari yang lain ; mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci untuk kembali kepada keingkaran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka ( Bukhari Muslim)"

Di dalam hadits ini, Baginda Rasulullah menggunakan kata manis, yaitu kata yang biasanya digunakan untuk mensifati benda benda lahiriah seperti madu, gula dll. Hal ini untuk mempermudah kita memahami haditst tersebut. Seperti kita maklumi bersama, bahwa mudah bagi kita untuk merasakan dan menikmati hal-hal yang bersifat lahiriah. Ketika kita mendapatkan uang misalnya, serta merta kegembiraan menyeruak ke dalam hati kita. Dalam kehidupan kita sehari-hari kita dapat merasakan bahwa gula itu manis, demikian juga halnya dengan madu. Namun betapapun manisnya madu tidak akan terasa manis jika kita dalam keadaan sakit. Semakin parah penyakit kita, semakin kita tidak dapat merasakan manisnya madu. Hal ini bisa kita kiaskan kepada kondisi keimanan kita. Jika sampai saat ini kita belum merasakan manisnya iman, boleh jadi hati kita dalam keadaan sakit. Semakin banyak penyakit yang menggerogoti hati kita, semakin sulit kita merasakan manisnya iman. Penyakit-penyakit hati yang bersemayam di hati kita akan mencegah kita untuk merasakan manisnya iman. Semakin banyak penyakit di dalam hati kita semakin jauh kesempatan kita untuk merasakan manisnya iman. Untuk itulah, agar kita bisa meningkatkan iman kita , maka kita harus berusaha menyingkirkan berbagai macam penyakit yang menggeroti hati kita, seperti : iri, dengki, dendam, marah, ketidakmampuan untuk memaafkan dan lain sebagainya. Maka Rasulullah menegaskan : At Thohuururu Syatrul iman ( kesucian itu adalah setengah dari iman). Imam Ghozalai menerangkan maksud kata suci dalam hadits ini, yaitu tidak saja suci secara lahiriah namun juga suci hati dari berbagai macam penyakit hati. Sehingga ketika seseorang akan melaksanakan sholat misalnya, maka ia mendirikan sholat dengan dua kesucian, yaitu suci secara lahiriah atau suci dari hadas dan yang kedua suci hati dari berbagai macam penyakitnya. Dan tatkala ibadah dilaksanakan dengan kedua kesucian ini maka Insya Allah kita akan merasakan kenikmatan ibadah sekaligus bisa merasakan manisnya iman. Namun manakala ibadah kita hanya dilaksanakan dengan satu kesucian saja yaitu suci lahiriah, maka kita tidak dapat merasakan nikmatnya beribadah sekaligus ibadah kita menjadi tidak bermakna dan pada akhirnya juga tidak dapat mersakan manisnya iman. Seseorang yang melaksanakan sholat, namun hatinya masih diliputi amarah, maka bisa dipastikan dalam sholatnya ia akan sedikit mengingat Allah, bahkan mungkin tidak mengingat Allah sama sekali karena hati dan pikiranya tercuri oleh sebab yang menyebabkan dia marah, demikian juga orang yang yang memendam rasa iri, maka pikirannya akan habis tercurah kepada apa yang ia irikan. Dengan demikian iapun tidak bisa khusyu’ dalam ibadahnya sekaligus tidak bisa menikmati ibadahnya. Itu berarti juga ia tidak dapat mersakan manisnya iman. Dan jika dalam hidup kita di dunia sekarang ini kita tidak dapat merasakan manisnya iman, mungkinkah kelak diakhirat kita akan merasakan buah keimanan kita ?

Hadirin rahimakumullah,

Lebih lanjut, Baginda Rasulullah menegaskan sarat untuk merasakan manisnya iman yaitu, agar kita mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari kecintaan kita kepada selain keduanya. Kecintaan kita kepada Allah dibuktikan dengan keikhlasan kita mengikuti Baginda Rasulullah saw. Sebagaimana ditegaskan dalam surat Ali imron ayat 31 :

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat ini menegaskan, betapa kita harus mengikuti Rasulullah sebagai bukti kecintaan kita kepada Allah. Mengikuti Rasulullah saw, bukan saja dalam perkara-perkara ibadah, namun juga dalam sikap dan perilaku beliau dalam menghadapi berbagi permasalahan yag menimpa. Apakah masalah itu kita senangi atau tidak. Maka kita perlu terus bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kita bersikap seperti Rasulullah dalam menghadapi berbagai persoalan hidup yang mendera. Hal ini perlu kita pertanyakan sebab Rausullah bersabda : laa yu’minu ahadukum hatta ya yakuuna hawaahu tab’an limaa ji’tu bihi ( tidak beriman seorang dari kalian sehingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa).

Selanjutnya, sarat berikutnya untuk mersakan manisnya iman adalah mencintai atau membenci seseorang hanya karena Allah. Menjalin persaudaraan dan dan persahabatan dengan keikhlasan hanya karena Allah. Karena mencintai atau membeci seseorang tidak karena Allah hanya akan melahirkan kegelisahan dan ketidaktenangan yang pada akhirnya juga akan membuat kita tidak bisa menikmati manisnya iman.

Dan yang terkhir , sarat untuk mersakan manisnya iman sebagaimana disebutkan hadis diatas adalan agar kita benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah membuat kita beriman sebesar kebencian kita untuk dimasukkan ke dalam neraka. Kita semua berharap untuk dimasukkan ke sorga dan dibebaskan dari api neraka, maka mari kita hindari hal-hal yang menyebabkan kita dimasukkan ke neraka. Dan mari kita berusaha untuk bertindak dan berbuat dengan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan kita ke sorga, dengan mengikuti petunjuk Baginda Rasulullah saw.

Mudah-mudahan Allah memberikan kita taufiq dan hidayah untuk mencintai-Nya, dan mencintai sesesorang karena-Nya, dan mudah-mudahan Allah membuat kita benci kepada kekufuran sebagaimana kita benci untuk dimasukkah ke dalam neraka.

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Kampung Media

http://www.youtube.com/watch?v=vG8vV27O8mI. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers