Menjelang tahun pelajaran baru ini saya begitu ingin sekali memindahkan sekolah anak saya dari sekolah konvensional ke sekolah alam. Sebagai sekolah alternatif, sekolah alam mampu melayani para siswa secara utuh sebagai manusia yang memiliki keunggulannya masing-masing. Sedangkan sekolah konvensional cenderung bersikap diskriminatif dengan memperlakukan istimewa siswa berkemampuan akademik unggul dan mengabaikan siswa yang lemah prestasi akademiknya.
Para guru di sekolah-sekolah konvensional kebanyakan tak sabar memahami karakteristik para siswanya. sehingga mereka seringkali menjadi obyek kemarahan guru dan bukannya dianggap subyek yg mesti diajak bicara mengenai apa yang dirasakan dan diinginkannya.
Para guru, termasuk guru Bimbingan & Konseling (BK) yang mestinya mampu menemani mereka juga terjebak pada penyikapan yang sama sebagaimana orang awam menyikapi remaja yang bertumpu pada anggapan : “Remaja Bermasalah” dan bukannya “Masalah Remaja”.
Siswa membolos, lebih betah bergaul dengan sesamanya di luar rumah daripada tinggal di rumah, suka berpenampilan nyentrik, berkta-kata kasar, merokok, hingga mengkonsumsi narkoba, dan lain-lain. Kasus-kasus semacam ini langsung digunakan guru untuk memberi label (labelling) terhadap mereka sebagai siswa bermasalah.
Begitu simpel cara para guru memandang permasalahan para siswanya. Terkait dengan simplifikasi masalah ini, ada beberapa kejadian yang pernah saya jumpai sebagai berikut :
1. Siswa meminta uang kepada temannya dengan sedikit memaksa, serta merta dianggap sebagai pemalakan atau pemerasan.
2. Siswa ketahuan sedang bermain-main dengan uang, serta merta ditudingnya sedang melakukan perjudian.
3. Siswa bertengkar dan salah satunya “berhasil” membuat “lawannya” terluka, langsung dituding sebagai pelaku penganiayaan dan kriminal.
4. Siswa mengambil benda milik temannya tanpa ijin, langsung diteriaki seperti pencuri atau maling “profesional”
5. Siswa mencubit pantat teman perempuannya, segera dicap sebagai pelecehan seksual
6. Siswa ketahuan merokok, langsung diceramahi kalau hal itu merupakan pertanda bahwa ia juga akan dengan mudah mengkonsumsi narkoba kelak di kemudian hari.
7. Siswa kedapatan menyimpan video porno, langsung dituduh bahwa ia memang telah terbiasa menontonnya.
8. Dan lain-lain
Tudingan-tudingan tersebut bukan saja tidak perlu tetapi justru mempertegas sikap siswa untuk tetap berperilaku seperti itu. Dengan kata lain, reaksi berlebihan itu sama sekali bukan cara yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi para siswa. Mestinya sebagai langkah awal untuk memahami persoalan yang sesungguhnya, para guru bisa lebih dulu bersikap empatik (empathy) sehingga mampu menyelami dunia para siswanya yang masih berusia remaja dengan berbagai problemnya. Setelah mereka berhasil “mengambil hati” siswa melalui empati, langkah selanjutnya adalah berusaha mengembangkan komunikasi interpersonal lainnya yang ditandai dengan sikap kesetaraan (equality), sikap positif (possitiveness), keterbukaan (openness), dan sikap mendukung (supportiveness) agar lebih memahami permasalahan siswa yang tersembunyi di balik perilaku luaran-nya yang memang menantang kesabaran para guru yang bijak.
Bagaimanakah menurut anda wujud sikap yang empatik dan rumusan kalimat komunikasi interpersonal lainnya untuk beberapa contoh kasus tersebut di atas?
oleh : Ali Mustahib Elyas
0 komentar:
Posting Komentar