Minggu pagi di Aula Kantor Lurah Pagutan. Kesibukan di tempat tersebut terasa kontras dengan suasana ruang utama kantor Lurah yang senyap. Disana. ada puluhan orang duduk berkelompok kelompok sedang membicarakan sesuatu.
Apalagi kalau melihat bangunan Kantor Lurah Pagutan yang baru yang terletak persis disudut simpang empat Pagutan yang ramai oleh lalu lintas, riuh diskusi relawan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) ditelan aktivitas pagi warga Pagutan dan sekitarnya.
Hanya jika melongok lebih kedalam ke area parkir Kantor Lurah itu baru terlihat beberapa buah sepeda motor yang berjejer tak beraturan menandakan ada kegiatan berlangsung disana. Berseragam kaus hijau bertuliskan Program PLP-BK Kelurahan Pagutan, tigapuluh orang relawan dari enam lingkungan di kelurahan Pagutan itu sedang menerima arahan darikoordinator program. Tugas mereka adalah melakukan pendataan fasilitas fasilitas umum yang ada di masing masing lingkungan. Berbekal formulir isian, para relawan ini akan bekerja denganmemetakan dan mengidentifikasi setiap fasilitas umum yang berpotensi masalah. Sebagai salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh BKM Sami Karya Pagutan, program yang disebut PS atau Pemetaan Swadaya itu adalah upaya mencari tahu titik titik permasalahan yang menyangkut fasilitas umum di lingkungan. Beberapa diantaranya misalnya jalan lingkungan, rumah ibadah, kantor kepala lingkungan, rumah rumah warga yang masih dibawah standar dan sebagainya. Jika di lapangan ditemukan potensi masalah, data ini akan dibawa oleh relawan sebagai acuan dalam pelaksanaan program BKM berikutnya. Lantas apa yang menarik dari kegiatan ini?
Memahami secara detail teknis pekerjaan BKM tentu akan sangat menguntungkan. Bagi orang diluar BKM, memahami kerja social seperti yang dilakukan BKM adalah tugas mulia yang harus diberikan penghargaan setinggi tingginya. Keuntungan lain, para relawan BKM tentu sudah memiliki niat kuat sebelum ikut bergabung didalamnya. Hal ini akan menentukan kerja kerja selanjutnya karena bagaimanapun, sederhananya yang “diurusi” adalah halaman rumah sendiri. Jika demikian, masih dengan nada yang sama, pertanyaannya adalah apa yang menarik dari kegiatan ini? Sebagai warga biasa, tentu tak ada yang menarik dengan kegiatan teknis seperti gambaran diatas. Begitupula dengan para relawan BKM andai saja mereka tak punya pemahaman cukup tentang apa yang harus dikerjakannya.
Yang menarik tentu saja bagaimana mengenal diri sendiri (baca: karakter lingkungan sendiri) secara lebih komprehensif.
Jika sempat berkunjung ke situs www.p2kp.org, Anda akan menemukan jawaban dari seluruh keingintahaun Anda tentang apa itu PNPM, P2KP, BKM dan seterusnya. Nah, sebagai modal pengetahuan awa ltentang program berbasis komunitas tersebut, kesimpulannya tidak jauh jauh dari persoalan bahwa segala persoalan yang terjadi di kampong, baik itu soal pembangunan, kemiskinan dan lainnya menjadi persoalan yang harus dipecahkan bersama. Dan yang terpenting persoalan persoalan itu harus dipecahkan secara mandiri oleh warga masyarakat bersangkutan. Itulah ruh dari program program PNPM.
Sayangnya, sebagai sebuah program yang menuntut partisipasi tinggi dari warga, kesan sepi seperti ilustrasi diawal tulisan tak sekadar deskripsi dari sebuah kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan pada hari libur, apalagi di minggu pertama bulan puasa Ramadan.
Nyaris tak terdengar ajakan atau sosialisasi program program di telinga warga. Bahkan didalam gedung kantor Lurah yang megah itu, tak satu sudutpun yang berusaha memberitahu warga bahwa BKM Sami Karya sedang bekerja membantu warga. Nah salah satu artikel yang bisa dibaca disitus P2KP seperti dikutip dibawah ini bisa menjadi informasi awal tentang apa sesungguhnya kerja BKM;
Apa Kabar CB? Perkuat Kapasitas untuk Mengubah Arah Arus Pusaran
Tanpa bermaksud menafikkan best practices yang ada dan mengiringi program tercinta ini, sudah sepatutnya kita berani berpikir dan bertindak fundamental menghadapi arus pusaran ini yang—tampak-tampaknya?—makin mekanis dan kontraproduktif bagi terbangunnya gerakan kolektif penanggulangan kemiskinan. Refleksi dan evaluasi yang benar-benar merdeka, kritis, jujur dan objektif perlu dilakukan agar kita bisa mendapatkan strategi jitu dan realistis, supaya bisa menjadi bagian dari solusi atas performa program ini yang (mungkin) oleh pelakunya sendiri dirasakan makin jauh dari substansi yang harus diperjuangkan.
Sudah selayaknya kita periksa diri kita terhadap apa yang sudah dicapai—nilai positif maupun negatif—terkait dengan capaian investasi sosial (baca: pelembagaan nilai dan prinsip) yang telahdan masih terus diintervensi secara intensif melalui proyek ini. Seperti: Sejauh mana BKM telah menjadi media kolektif yang merupakan representasi dari nilaidan prinsip kemanusiaan dan kemasyarakatan, atau sebaliknya justru telah menjadi arena perebutan kepentingan dan keuntungan sebagian orang di dalamnya; Sejauh mana kegiatan sosialisasi, penguatan kapasitas, serta monitoring dan evaluasi dapatberlanjut dan melembaga di masyarakat, adakah dan apakah kendala yang dihadapi untuk menuju ke arah yang diharapkan, apa yang harus dilakukan agar hal tersebut bisa berlanjut di masyarakat; Sejauh mana keberadaan relawan di dalam kegiatan ini, baik selama proses pendampingan maupun pasca pendampingan, apa yang harus dilakukan agar relawan organik benar-benar tumbuh dan menjadi kekuatan kolektif bagi gerakan penanggulangan kemiskinan di komunitas; Apa yang harus dilakukan terhadap media-media intervensi yang pernah dilakukan untuk mendorong transparansi, akuntabilitas dan lain-lain, seperti kotak pengaduan, papaninformasi, media warga, atau siklus masyarakat agar benar-benar bisa menjadi milik masyarakat (dapat dilakukan dan berlanjut); Bagaimana peran masyarakat sipil bersama pemerintah daerah dalam melihat, menilai, dan menjaga ”aset” yang sudah ada, seperti adanya BKM, UPK, UPL, KSM, dan lain-lain agar ”aset” tersebut benar-benar menjadi sarana yang strategis sebagai aktorpenanggulangan kemiskinan di masyarakat; Bagaimana menerjemahkan “manajemen keuangan” sebagai bagian dari mobilisasisumberdaya komunitas secara mandiri dan berkelanjutan sehingga tidak terjebak padaperkara teknis pencatatan dan penghitungan; Bagaimana menjadikan kegiatan infrastruktur sebagai bagian dari upaya pembangunanmelek lingkungan dan pemukiman” yang berkontribusi signifikan bagi daya dorong dan hidup warga miskin; “ Bagaimana menjadikan kegiatan sosialisasi menjadi bagian dari strategi membangun isupenanggulangan kemiskinan menjadi isu bersama komunitas (common issue) yang padaakhirnya akan mendorong terjadinya mobilisasi sumber daya (resource mobilization) dan peningkatan produktifitas (productivity) masyarakat; Bagaimana menjadikan PLP-BK benar-benar program yang berpihak bagi penataanpemukiman “wong cilik”, bukan Program Langsung Pencairan (yang) Bikin Kelimpungan dan berbagai isu lain yang benar-benar dibutuhkan bagi upaya memperkuat pelembagaannilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan di masyarakat, yang selama ini menjadi ikon program tersebut.
Atas berbagai isu di atas, peran capacity building—CB—menjadi sangat strategis, karenaperannya dalam pencapaian tujuan program ini berkaitan dengan penguatan kapasitas pelaku, baik dari sisi pemahaman, sikap, maupun keterampilan, dalam menjalankan program. Namun demikian, CB hanya bisa berperan strategis jika dan hanya jika CB diorientasikan untukmemperkuat pelaku agar mampu melembagakan segenap nilai dan prinsip yang diemban ini secara konsisten sesuai dengan kompleksitas dan problematika lapangan. Tidak sebaliknya justru menjadi beban tambahan masyarakat (dan konsultan—korkot dan faskel) karena kegiatan CB justru terjebak dalam arus massifikasi dan kuantifikasi yang makinmewarnai program ini. Sudah seharusnya CB menjadi alat pengingat dan deteksi dini (early warning system) dari hal-hal yang berpotensi menggerogoti substansi idealisme program ini. Sudah saatnya CB menjadi alat pengendali, percepatan maupun perlambatan, agar program inibetul-betul berada dalam koridor substansi idealisme yang diharapkan.
Sudah selayaknya CB menjadi penyemangat dan penginspirasi bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang dalam amanahmulia program ini. Sudah saatnya CB menjadi alat bagi semua pelaku untuk berpikir danbertindak benar sesuai hati nurani dan cita-cita besar masyarakat. Tidak sebaliknya, CB justruterkulai layu, terjerembab lelah, dan masuk dalam arus pusaran dalam hiruk-pikuk program yang makin kental aroma pragmatisme dan autismenya ini.
Tulisan diatas adalah satu dari sekian tulisan yang dimuat di situs P2KP tersebut. Penulisnya dari berbagai kalangan. Ada yang mantan aktivis BKM, pemerhati social dan ada juga aktivis BKM dari pelosok negeri. Yang paling menarik adalah beberapa BKM malah sudah menerbitkan media warga yang berisikan informasi seputar kegiatan BKM. Seperti BKM di wilayah Cianjur, Jawa Barat atau Banda Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam. Nah, tema tulisan ini sesungguhnya hanya ingin mendorong BKM Sami Karya Pagutan agar memberikan ruang untuk akses informasi warga. Jika ingin benar benar menumbuhkan partisipasi warga, maka media informasi menjadi pilihan terakhir agar program program BKM dapat ikut setidaknya dikawal oleh warga masyarakat. (Zammi Suryadi)
Apalagi kalau melihat bangunan Kantor Lurah Pagutan yang baru yang terletak persis disudut simpang empat Pagutan yang ramai oleh lalu lintas, riuh diskusi relawan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) ditelan aktivitas pagi warga Pagutan dan sekitarnya.
Hanya jika melongok lebih kedalam ke area parkir Kantor Lurah itu baru terlihat beberapa buah sepeda motor yang berjejer tak beraturan menandakan ada kegiatan berlangsung disana. Berseragam kaus hijau bertuliskan Program PLP-BK Kelurahan Pagutan, tigapuluh orang relawan dari enam lingkungan di kelurahan Pagutan itu sedang menerima arahan darikoordinator program. Tugas mereka adalah melakukan pendataan fasilitas fasilitas umum yang ada di masing masing lingkungan. Berbekal formulir isian, para relawan ini akan bekerja denganmemetakan dan mengidentifikasi setiap fasilitas umum yang berpotensi masalah. Sebagai salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh BKM Sami Karya Pagutan, program yang disebut PS atau Pemetaan Swadaya itu adalah upaya mencari tahu titik titik permasalahan yang menyangkut fasilitas umum di lingkungan. Beberapa diantaranya misalnya jalan lingkungan, rumah ibadah, kantor kepala lingkungan, rumah rumah warga yang masih dibawah standar dan sebagainya. Jika di lapangan ditemukan potensi masalah, data ini akan dibawa oleh relawan sebagai acuan dalam pelaksanaan program BKM berikutnya. Lantas apa yang menarik dari kegiatan ini?
Memahami secara detail teknis pekerjaan BKM tentu akan sangat menguntungkan. Bagi orang diluar BKM, memahami kerja social seperti yang dilakukan BKM adalah tugas mulia yang harus diberikan penghargaan setinggi tingginya. Keuntungan lain, para relawan BKM tentu sudah memiliki niat kuat sebelum ikut bergabung didalamnya. Hal ini akan menentukan kerja kerja selanjutnya karena bagaimanapun, sederhananya yang “diurusi” adalah halaman rumah sendiri. Jika demikian, masih dengan nada yang sama, pertanyaannya adalah apa yang menarik dari kegiatan ini? Sebagai warga biasa, tentu tak ada yang menarik dengan kegiatan teknis seperti gambaran diatas. Begitupula dengan para relawan BKM andai saja mereka tak punya pemahaman cukup tentang apa yang harus dikerjakannya.
Yang menarik tentu saja bagaimana mengenal diri sendiri (baca: karakter lingkungan sendiri) secara lebih komprehensif.
Jika sempat berkunjung ke situs www.p2kp.org, Anda akan menemukan jawaban dari seluruh keingintahaun Anda tentang apa itu PNPM, P2KP, BKM dan seterusnya. Nah, sebagai modal pengetahuan awa ltentang program berbasis komunitas tersebut, kesimpulannya tidak jauh jauh dari persoalan bahwa segala persoalan yang terjadi di kampong, baik itu soal pembangunan, kemiskinan dan lainnya menjadi persoalan yang harus dipecahkan bersama. Dan yang terpenting persoalan persoalan itu harus dipecahkan secara mandiri oleh warga masyarakat bersangkutan. Itulah ruh dari program program PNPM.
Sayangnya, sebagai sebuah program yang menuntut partisipasi tinggi dari warga, kesan sepi seperti ilustrasi diawal tulisan tak sekadar deskripsi dari sebuah kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan pada hari libur, apalagi di minggu pertama bulan puasa Ramadan.
Nyaris tak terdengar ajakan atau sosialisasi program program di telinga warga. Bahkan didalam gedung kantor Lurah yang megah itu, tak satu sudutpun yang berusaha memberitahu warga bahwa BKM Sami Karya sedang bekerja membantu warga. Nah salah satu artikel yang bisa dibaca disitus P2KP seperti dikutip dibawah ini bisa menjadi informasi awal tentang apa sesungguhnya kerja BKM;
Apa Kabar CB? Perkuat Kapasitas untuk Mengubah Arah Arus Pusaran
Tanpa bermaksud menafikkan best practices yang ada dan mengiringi program tercinta ini, sudah sepatutnya kita berani berpikir dan bertindak fundamental menghadapi arus pusaran ini yang—tampak-tampaknya?—makin mekanis dan kontraproduktif bagi terbangunnya gerakan kolektif penanggulangan kemiskinan. Refleksi dan evaluasi yang benar-benar merdeka, kritis, jujur dan objektif perlu dilakukan agar kita bisa mendapatkan strategi jitu dan realistis, supaya bisa menjadi bagian dari solusi atas performa program ini yang (mungkin) oleh pelakunya sendiri dirasakan makin jauh dari substansi yang harus diperjuangkan.
Sudah selayaknya kita periksa diri kita terhadap apa yang sudah dicapai—nilai positif maupun negatif—terkait dengan capaian investasi sosial (baca: pelembagaan nilai dan prinsip) yang telahdan masih terus diintervensi secara intensif melalui proyek ini. Seperti: Sejauh mana BKM telah menjadi media kolektif yang merupakan representasi dari nilaidan prinsip kemanusiaan dan kemasyarakatan, atau sebaliknya justru telah menjadi arena perebutan kepentingan dan keuntungan sebagian orang di dalamnya; Sejauh mana kegiatan sosialisasi, penguatan kapasitas, serta monitoring dan evaluasi dapatberlanjut dan melembaga di masyarakat, adakah dan apakah kendala yang dihadapi untuk menuju ke arah yang diharapkan, apa yang harus dilakukan agar hal tersebut bisa berlanjut di masyarakat; Sejauh mana keberadaan relawan di dalam kegiatan ini, baik selama proses pendampingan maupun pasca pendampingan, apa yang harus dilakukan agar relawan organik benar-benar tumbuh dan menjadi kekuatan kolektif bagi gerakan penanggulangan kemiskinan di komunitas; Apa yang harus dilakukan terhadap media-media intervensi yang pernah dilakukan untuk mendorong transparansi, akuntabilitas dan lain-lain, seperti kotak pengaduan, papaninformasi, media warga, atau siklus masyarakat agar benar-benar bisa menjadi milik masyarakat (dapat dilakukan dan berlanjut); Bagaimana peran masyarakat sipil bersama pemerintah daerah dalam melihat, menilai, dan menjaga ”aset” yang sudah ada, seperti adanya BKM, UPK, UPL, KSM, dan lain-lain agar ”aset” tersebut benar-benar menjadi sarana yang strategis sebagai aktorpenanggulangan kemiskinan di masyarakat; Bagaimana menerjemahkan “manajemen keuangan” sebagai bagian dari mobilisasisumberdaya komunitas secara mandiri dan berkelanjutan sehingga tidak terjebak padaperkara teknis pencatatan dan penghitungan; Bagaimana menjadikan kegiatan infrastruktur sebagai bagian dari upaya pembangunanmelek lingkungan dan pemukiman” yang berkontribusi signifikan bagi daya dorong dan hidup warga miskin; “ Bagaimana menjadikan kegiatan sosialisasi menjadi bagian dari strategi membangun isupenanggulangan kemiskinan menjadi isu bersama komunitas (common issue) yang padaakhirnya akan mendorong terjadinya mobilisasi sumber daya (resource mobilization) dan peningkatan produktifitas (productivity) masyarakat; Bagaimana menjadikan PLP-BK benar-benar program yang berpihak bagi penataanpemukiman “wong cilik”, bukan Program Langsung Pencairan (yang) Bikin Kelimpungan dan berbagai isu lain yang benar-benar dibutuhkan bagi upaya memperkuat pelembagaannilai kemanusiaan dan prinsip kemasyarakatan di masyarakat, yang selama ini menjadi ikon program tersebut.
Atas berbagai isu di atas, peran capacity building—CB—menjadi sangat strategis, karenaperannya dalam pencapaian tujuan program ini berkaitan dengan penguatan kapasitas pelaku, baik dari sisi pemahaman, sikap, maupun keterampilan, dalam menjalankan program. Namun demikian, CB hanya bisa berperan strategis jika dan hanya jika CB diorientasikan untukmemperkuat pelaku agar mampu melembagakan segenap nilai dan prinsip yang diemban ini secara konsisten sesuai dengan kompleksitas dan problematika lapangan. Tidak sebaliknya justru menjadi beban tambahan masyarakat (dan konsultan—korkot dan faskel) karena kegiatan CB justru terjebak dalam arus massifikasi dan kuantifikasi yang makinmewarnai program ini. Sudah seharusnya CB menjadi alat pengingat dan deteksi dini (early warning system) dari hal-hal yang berpotensi menggerogoti substansi idealisme program ini. Sudah saatnya CB menjadi alat pengendali, percepatan maupun perlambatan, agar program inibetul-betul berada dalam koridor substansi idealisme yang diharapkan.
Sudah selayaknya CB menjadi penyemangat dan penginspirasi bagi jiwa-jiwa yang sedang berjuang dalam amanahmulia program ini. Sudah saatnya CB menjadi alat bagi semua pelaku untuk berpikir danbertindak benar sesuai hati nurani dan cita-cita besar masyarakat. Tidak sebaliknya, CB justruterkulai layu, terjerembab lelah, dan masuk dalam arus pusaran dalam hiruk-pikuk program yang makin kental aroma pragmatisme dan autismenya ini.
Tulisan diatas adalah satu dari sekian tulisan yang dimuat di situs P2KP tersebut. Penulisnya dari berbagai kalangan. Ada yang mantan aktivis BKM, pemerhati social dan ada juga aktivis BKM dari pelosok negeri. Yang paling menarik adalah beberapa BKM malah sudah menerbitkan media warga yang berisikan informasi seputar kegiatan BKM. Seperti BKM di wilayah Cianjur, Jawa Barat atau Banda Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam. Nah, tema tulisan ini sesungguhnya hanya ingin mendorong BKM Sami Karya Pagutan agar memberikan ruang untuk akses informasi warga. Jika ingin benar benar menumbuhkan partisipasi warga, maka media informasi menjadi pilihan terakhir agar program program BKM dapat ikut setidaknya dikawal oleh warga masyarakat. (Zammi Suryadi)
0 komentar:
Posting Komentar