Nyontek sering kali dipahami dan merupakan sikap pecundang yang menginginkan hasil optimal tanpa harus bersusah payah. Biasanya, nyontek dilakukan oleh para siswa atau mahasiswa yang sedang mengerjakan soal ujian, dan yang bersangkutan tidak mempersiapkan penguasaan bahan/materi pelajaran yang memadai dengan berbagai alasan. Mereka menyontek pekerjaan temannya yang dianggap lebih pintar atau mengerjakan soal dengan jawaban yang dilihatnya dari catatan yang sudah dipersiapakan. Catatan ini bisa berupa apa saja, buku-buku, atau catatan kecil lainnya.
Anak sekolah/mahasiswa yang menyontek biasanya menempati posisi yang ‘aman’ dari pengawas ujian. Biasanya di barisan belakang, atau yang terhalang oleh pengawas. Makanya, ada juga istilah yang cukup beken ‘posisi menentukan prestasi’. Istilah ini jangan-jangan merupakan metafora yang diambil dari pola kekuasaan dan jabatan di negeri kita, yang mana posisi jabatan seseorang sangat berpengaruh dan menentukan terhadap kekayaan pejabat tertentu.
Banyak hal yang menyebabkan seseorang menyontek, di antaranya :
1. Ingin berhasil tanpa usaha yang melelahkan.
Seseorang harus memahami, bahkan harus hafal bahan-bahan pelajaran yang akan diujikan. Seorang pemalas biasanya ada saja alasan untuk tidak belajar atau membaca buku-buku yang dijadikan rujukan pembuatan soal ujian. Mestiya, berbekal kajian-kajian psikologi memungkinkan seseorang dapat memahami bahan ajar dengan mudah. Belajar yang menyenangkan mestinya juga memungkinkan siswa dapat belajar dengna enjoy juga semua informasi langsung melekat pada ingatannya (lihat bahasan tentang lupa dan ingatan).
2. Ingin membahagiakan pihak lain.
Katakanlah, siswa yang menginginkan pihak lain atau orang tuanya tersenyum bahagia melihat anaknya berprestasi dengan digambarkan pada perolehan angka-angka yang fantastis dalam nilai rapornya. Karena kurang persiapan, malas, atau alasan lainnya, ia memakai cara-cara yang bertentangan dengan mainstream yakni dengan menyontek. Ia tak memedulikan cara ini sesuai dengan norma-norma yang ada atau tidak ada. Baginya, yang terpenting adalah bisa menjawab soal-soal ujian dengan mudah karena melihat sontekan dan nilainya bagus. Titik. Padahal, kebahagian sejati para orang tua dapat dipastikan adalah perolehan nilai ujian anaknya tinggi, memuaskan, dan diraih dengan cara-cara elegan dan bermartabat.
3. Malu tidak disebut berprestasi.
Mengapa harus malu ketika tidak berprestasi? Jikalau memang belum bisa berprestasi sebaiknya mengakui saja kondisi ini. Tidak usah menggunakan segala cara yang tidak halal—sampai-sampai harus menggunakan cara pecundang. Prestasi itu bukan sesuatu yang bisa didapat dalam sekejap melalui kata-kata magic bim sala bim, tetapi harus diperjuangkan melalui ketekunan. Tubagus Wahyudi, pakar hipnotis dan public speaking terkenal, pernah mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menguasai sensorik power adalah dengan tetap melakukan ketekunan. Ketekunan dalam bidang ilmu, hobi, penelitian, dll akan membuat dan mengantarkan seseorang menjadi pakar pada bidang tertentu tersebut. Bahkan, hobi yang ditekuni dapat menjadi sumber penghasilan dan sandaran hidup.
Jadi, agar berprestasi ya janganlah menyontek. Tetapi, jalankanlah ketekunan dengan tetap membaca buku, baik sebelum maupun setelah bahan ajar itu dipresentasikan oleh guru atau dosen.
4. Bahan yang diujikan tidak menarik.
Mengapa tidak menarik? Kalau dibandingkan dengan pepatah “tidak ada orang yang bodoh di dunia ini melainkan malas”, maka sebenarnya tidak ada ujian yang tidak menarik. Yang ada adalah seseorang yang tidak bisa menyikapi sesuatu dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
5. Sistem pengawasan ujian yang longgar.
Pengawasan yang longgar dapat memunculkan ide bagi para pecundang untuk menyontek. Sedangkan pengawasan ujian yang ekstra ketat juga memungkinkan peserta menjadi lebih stres menghadapi soal-soal ujian. (berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar