BESARKAN ALLAH, KECILKAN MASALAH
Berbagai musibah dan bencana yang yang bertubi-tubi menimpa bangsa ini, tampaknya bukan hanya memporak-porandakan harta dan jiwa saudara-saudara kita, tapi juga berpeluang menghancurkan mental dan motivasi kita. Bukan tidak mungkin ,jika masalah ini terus berlarut-larut, kita bisa merasa lemah dan tidak punya semangat untuk bangkit .
Padahal sebenarnya kitalah yang menciptakan masalah melalui persepsi negative terhadap segala kejadian yang terjadi dalam kehidupan kita. Masalah yang besar bisa dikecilkan, jika kita mau mengecilkannya. Masalah yang kecil bisa menjadi besar jika kita menghendakinya menjadi besar.
Jika kita terbiasa membesar-besarkan masalah kecil, maka semua masalah menjadi besar. Jika terbiasa mengecilkan masalah dan membesarkan nama Allah Subhaanahu wa Ta’aala, maka kecillah semua masalah di dunia ini.
Jika kita memandang bangsa
Jika kita berpandangan bahwa bangsa ini memang pantas diberi azab oleh Allah, maka Allah juga akan terus mengazab kita. Kita memang layak diazab karena kita sendiri yang berprasangka buruk kepada Allah. Jika kita beranggapan bahwa musibah dan bencana yang datang silih berganti akhir-akhir ini sebagai isyarat akan hancurnya bangsa ini, maka Allah pun akan mendatangkan kehancuran pada bangsa ini. Allah telah berfirman di dalam hadits qudsi :
“Aku berada dalam persangkaan hamba-Ku kepada-Ku (HR Bukhori Muslim).
Jika masalah bangsa ini kita bawa sedih, maka kitapun akan sedih. Jika dibawa susah maka kitapun menjadi susah. Dan jika dibawa gembira, menjadi gembiralah kita, semua tergantung dari cara pandang kita.
Oleh karena itu cara pandang yang yang paling sesuai dengan nilai-nilai positif kita sebagai manusia dan nilai-nilai kebenaran syariah, adalah pandangan yang salah satu unsurnya adalah meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini kecil. Dan hanya Allah yang paling besar.
Dan cara pandang yang dibangun di atas keyakinan bahwasanya hanya Allah yang paling besar, adalah cara pandang orang-orang yang bertaqwa. Dimana ia bisa membesarkan Allah di dalam hati, pikiran dan seluruh prilaku hidupnya. Dan ini dibangun dari interaksi yang mendalam dengan aktifitas ibadah yang sudah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya, mengapa di dalam shalat Iedul Fitri dan shalat Iedul Adha kita diperintahkan untuk bertakbir tujuh kali pada rakaat pertama dan
Begitu pula setiap hari, kita di-setting untuk bertakbir ketika melaksanaan shalat wajib maupun sunnah. Selama menunaikan shalat
Kalimat “Allahu Akbar” yang kita ucapkan setiap kali pindah dari rukun yang satu ke rukun berikutnya adalah isyarat bahwa dalam keseharian kitapun, hendaknya dalam setiap pergantian kegiatan dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain agar diawali dengan keyakinan bahwa Allah Maha Besar, Maha Berkuasa dan kita hanyalah mahluk biasa yang tidak punya kekuatan apapun. Dengan demikian apapun yang kita kerjakan agar disandarkan kepada Allah. Kita hanya melaksanakan ikhtiar pada akhirnya Allah jua yang menentukan.
Dan ketika kita tidak memiliki kesadaran akan kebesaran Allah maka kitapun akan menyandarkan urusan kita kepada selain Allah. Betapa banyak diantara kita yang menyandarkan urusannya kepada harta, mereka merasa tidak mampu melaksanakan kegiatannya jika mereka tidak mempunyai harta. Maka orang–orang seperti ini secara perlahan kemudian menjadikan harta sebagai tuhannya. Dia tidak akan melakukan sebuah pekerjaan yang tidak mendatangkan harta. Ketika mereka kehilangan harta , maka mereka panik dan seakan-akan dunia telah berakhir baginya.
Sementara yang lainnya ada yang menyandarkan urusannya kepada kekuasaan. Ia merasa tidak mampu berbuat jika mereka tidak punya kekuasaan. Maka orang-orang seperti ini berusaha mengejar kekuasaan dengan segala cara. Dan pada akhirnya menjadikan kekuasan sebagai tujuan akhirnya. Ketika kekuasannya dicabut, iapun merasa seakan-akan dunia telah kiamat.
Dilain pihak ada yang menyandarkan urusannya kepada makhluk. Mereka berpikir bahwa mereka bisa memenuhi keinginannnya jika dekat dengan seseorang yang mempunyai kekuasaan. Secara perlahan orang-orang seperti itu pada akhirnya akan terjebak pada sikap menghambakan diri kepada makhluk. dan pada akhirnya diapun akan kehilangan ‘izzah dan haibah .
Demikianlah, orang-orang yang menyandarkan urusannya kepada selain Allah, tidak akan pernah mencapai apa yang diinginkan dan akan mudah terjebak dalam keputus-asaan.
Berbeda dengan orang yang menyandarkan urusannya kepada Allah, yaitu Zat yang Maha Kaya, Maha berkuasa dan Maha Mencipta, ia akan senantiasa diliputi oleh sikap optimis ,penuh percaya diri dan bersikap positif terhadap segala sesuatu, bahkan terhadap kegagalan sekalipun. Kegagalan bagi dia bukan berarti kematian, kehancuran atau akhir dari segalanya. Kegagalan justru akan dijadikan pelajaran berharga untuk kehidupan di masa datang.
Demikianlah, ketika mengucapkan takbir, saat itu juga seharusnya kita bisa menghayati kebesaran Allah. Saat itu pula kita melepaskan segala hal yang kecil, yaitu belenggu prasangka buruk yang menghinggapi pikiran kita. Lepaskan dan buang jauh-jauh pikiran negative. Persepsi buruk dan pikiran negative yang seringkali muncul yang tidak didasarkan atas ilmu, sebenarnya merupakan sesuatu yang yang lebih sering membuat kita larut dalam masalah. Dan ketika masalah itu mendominasi kita, maka kita sebenarnya telah menganggapnya besar.
. Jika kita berpikir positif, kita akan mampu menghargai diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan hanya akan menimbulkan kelelahan mental dan rasa frustasi yang dalam. Sungguh sikaf ini merupaka kezaliman terhadap diri sendiri.
Allah Subhaanahu wa Taala berfirman :
“Dan tidaklah mereka menganiaya Kami (Allah), akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” ( Al Baqarah : 57)
0 komentar:
Posting Komentar