Kamis, 15 Juli 2010

TENTANG MEDIA


Siapa Mau Jadi Wartawan

Menjadi wartawan merupakan hak asasi semua warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan banyak orang karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.

Kutipan diatas adalah pengantar buku Kompetensi Wartawan yang diterbitkan oleh Dewan Pers. Lihatlah, betapa profesi wartawan sungguh sangat mulia. Misi agung yang harus diembannya setiap hari saat bekerja menjadi ruh yang menggerakkan seluruh tubuhnya. Tapi selain disanjung, wartawan pun mulai disergap citra yang buruk. Pekerjaan wartawan paling tidak membutuhkan kemampuan apapun. Tak heran, mutu dan integritas wartawan kacau dan tidak dapat dipercaya. Berbeda dengan profesi dokter, pengacara atau guru yang jelas harus memiliki keterampilan tertentu. Wartawan, hanya perlu berbagi apa yang diketahuinya dari hasil kerjanya kepada semua orang. Siapa yang tak bisa menceritakan peristiwa dan membuatnya menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui orang. Hanya saja, sebuah peristiwa dinilai penting ketika orang banyak membutuhkan pengetahuan tersebut, dan wartawan mengerti benar bagaimana cara membagi pengetahuan tersebut kepada orang banyak.

Upaya penetapan standar kompetensi wartawan di Indonesia dinilai sudah terbilang mendesak untuk segera dilakukan. Hal itu terutama untuk menjawab pertanyaan dan bahkan gugatan yang muncul dari kalangan masyarakat, terkait pemberitaan yang dinilai merugikan lantaran tidak dibuat dengan berpatokan pada kaidah pemberitaan baku dan kode etik jurnalistik. Penilaian itu disampaikan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja. Menurutnya, reformasi berdampak memicu terjadinya ledakan (booming) media massa, mulai dari cetak, radio, dan elektronik. Dari sedikitnya 300 media cetak, 800 radio, dan tujuh stasiun televisi, jumlahnya meningkat pesat. "Masyarakat terkejut apalagi berbagai media massa tadi semakin kentara warnanya masing-masing, mulai dari yang serius sampai yang hanya mengandalkan sensasi serta tidak memenuhi standar jurnalisme profesional. Tidak hanya itu, masyarakat juga tidak terbiasa dengan lonjakan yang sangat tinggi, misalnya, media cetak bertambah menjadi empat kali lipat hanya dalam kurun dua tahun,” ujar Atmakusumah. Dengan standardisasi kompetensi wartawan tersebut, diharapkan seorang jurnalis pemula memiliki pengetahuan dasar meliput dan menulis berita sesuai standar baku dan juga kode etik jurnalistik. (Kompas, Februari 2010).

Jika demikian, dari seluruh perdebatan mengenai soal kompetensi ini, kalau Dewan Pers atau lembaga akreditasi mulai melaksanakannya, maka rekrutmen calon wartawan di sebuah perusahaan media menjadi persyaratan yang harus dipatuhi jika seseorang melamar bekerja sebagai wartawan. Seperti dikatakan Agus Talino (PWI NTB), hal ini menjadi penting untuk mulai merehabilitasi public trust atau kepercayaan public yang mulai rusak oleh wartawan “impoten”.

Saya jadi teringat sewaktu sebuah media televise local baru di Lombok mencari calon karyawan. Yang ironis, sang manajer HRD yang mengaku memiliki pengalaman belasan tahun sebagai wartawan justru tak memiliki visi tentang jurnalisme. Alih alih mendapatkan calon wartawan yang dapat diandalkan, sang manajer dalam sebuah Diklat singkat tak kurang dari seminggu malah menjerumuskan calon calon karyawan televise local yang memang tidak berlatar belakang jurnalistik tersebut dengan uraian soal dasar dasar jurnalistik yang tak jelas juntrungannya. Walhasil setelah diterima bekerja, wartawan wartawan magang tersebut bekerja dengan “kualitas” yang distandarkan sang manajer tadi. Ada pula seorang redaktur senior sebuah suratkabar local sempat mengeluh soal susahnya mencari wartawan baru. Kesulitannya, karena tak banyak dari fresh graduate atau mereka yang baru lulus kuliah punya minat menjadi wartawan. Kalaupun ada, kebanyakan malah memilih bekerja di perusahaan media yang sudah mapan sebagai karyawan perusahaaan dan mendapatkan gaji sesuai UMP. Menjadi wartawan kalau lah bukan karena panggilan jiwa maka perusahaan perusahaan media local Lombok atau bahkan media nasional sekalipun belum lagi menjadi pilihan untuk mulai memasuki dunia kerja. Seperti juga kebanyakan peserta Workshop yang salah satunya menyoal kompetensi wartawan yang digelar di Hotel Lombok Raya (Kamis, 15/07), Jonar Siahaan, wartawan Antara, mengaku tak pernah bercita cita menjadi wartawan. Dengan berseloroh ia berujar kalau bekerja sebagai wartawan, jangan pernah bermimpi menjadi kaya kecuali menjadi pengelola atau pemilik perusahaan media. Karena tidak memiliki kompetensi, soal uang bisa mengarah kepada kriminalitas bagi wartawan gadungan yang sekarang banyak bekerja di perusahaan media local. Dengan membuat berita bermotif uang, menakut nakuti nara sumber sampai memeras dengan mengatasnamakan profesi wartawan. Disebutkan bahwa standar itu dibutuhkan untuk melindungi kepentingan publik dan pribadi, sedangkan di sisi lain juga dipakai untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Menurut Ketua Dewan Pers. Prof DR Bagir Manan, pentingnya penerapan SKW tersebut untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan, termasuk menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan. Selain itu, SKW dapat menjadi acuan sistem evalusi kinerja wartawan oleh perusahaan pers, serta menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual. Pers sebagai kekuatan atau pilar keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, lanjutnya, berinteraksi dengan publik sehingga dalam menjalankan profesinya harus memiliki standar kompetensi. Dia mengatakan, apabila itu tidak ada, maka harus siap ditinggalkan. Alasannya, karena dunia pers menyangkut bisnis kepercayaan dan harus siap berkompetisi di dunia. (Antaranews, Februari 2010). Penyalahgunaan profesi wartawan seperti yang dikatakan Bagir Manan, jika mengarah kepada tindak criminal, pemecahannya jelas dengan melaporkan peristiwa criminal tersebut kepada polisi. Namun yang memprihatinkan adalah media media local Lombok ternyata masih ada saja menulis atau menyiarkan berita yang tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Bahkan ada juga wartawan koran yang tak sempat membaca tulisannya sendiri yang sudah dimuat cetak . Maksudnya agar sang wartawan belajar menjadi lebih baik setiap waktu dalam pekerjaannya. Kalau bicara soal kode etik, sasarannya tentu jelas bahwa wartawan harus memiliki sikap moral yang baik. Sekarang tergantung bagaimana dewan kehormatan organisasi organisasi wartawan yang ada menyikapi perilaku tak kompeten sang wartawan. Atau kalau bicara soal rekrutmen di perusahaan media, pelatihan mengenai cara kerja wartawan yang baik dan benar harus dibiayai dan diberikan waktu yang cukup oleh perusahaan media. Termasuk soal gaji wartawan yang sedikitnya memenuhi Upah Minimum Provinsi agar tak melanggar undang undang. Kalau begitu, siapa mau jadi wartawan? (Zammi Suryadi – dari berbagai sumber).

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Kampung Media

http://www.youtube.com/watch?v=vG8vV27O8mI. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers