Sabtu, 20 Maret 2010

JALAN-JALAN KE MUSEUM


BUAYA ASLI 4,1 METER DI PAMERKAN DI MUSEUM

Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki 7544 koleksi peninggalan sejarah yang sangat penting dan menjadi ciri khas NTB. Saat memasuki ruang pameran, kita akan disuguhkan dengan berbagai koleksi geological dan biological. Mulai dari penciptaan alam semesta, hewan dan tumbuhan yang dilindungi, batuan-batuan di NTB, sketsa gunung rinjani sampai hasil-hasil hutan dan lautan serta berbagai koleksi lainnya. Menurut salah satu anggota Kelompok Tenaga Fungsional Pemandu Dra. Syaraswati, koleksi yang terdapat di ruangan pertama tersebut masih bersifat universal. “Artinya bahwa koleksi yang ada di ruangan ini (ruang pertama) masih bisa dijumpai di daerah-daerah lain selain NTB”, jelasnya saat ditemui di Museum NTB Rabu pecan lalu.

Salah satu koleksi yang cukup mencengangkan saat tim Koran kampong baru memasuki kawasan ruang pameran adalah terdapat buaya asli yang telah diawetakan. Buaya asli sepanjang 410 cm (4,1 meter) diletakkan tepat di tengah di antara 2 pintu utama memasuki ruang pameran. Buaya dengan lebar tubuh 110 cm tersebut tergolong koleksi baru. Cat pernis yang masih sangat mengkilap di tubuh buaya tersebut sangat menkajubkan dan membuat buaya tersebut seolah masih hidup. Buaya pemberian POLDA,yang berada di museum sejak akhir Desember lalu memiliki historis yang cukup menegangkan. “Buaya ini adalah buaya yang mengganggu ketenangan masyarakat di Dompu, sehingga ditembak oleh Polisi dan akhirnya mati kemudian diawetkan olah warga Dompu,” cerita ibu Syaraswati kepada Koran Kampung. Buaya awetan tersebut pada saat dibawa masih berbau amis. Sehingga, Museum langsung melakukan perawatan preventif dengan menambahkan banyak kamfer dan silica gel serta membuka kaca penutup pada kedua ujungnya untuk menghilangkan bau tersebut.

Koleksi lain yang cukup unik adalah terdapat sebuah peti besar yang dikenal oleh masyarakat Lombok dengan sebutan Syahra. Syahra tersebut diperoleh dari seorang warga yang berasal dari Sekarbela. Syahra yang berada di Museum NTB sejak 1976 silam merupakan sebuah peti besar yang berukiran timbul dengan motif bunga dan kaligrafi ayat kursi. Pada zaman dahulu sering digunakan sebagai wadah untuk membawa perlengkapan ibadah haji sekaligus tempat penyimpanan Al Qur’an oleh masyarakat sasak di Lombok. Selain ukuran yang lebih besar dari ukuran koper haji masa kini, Syahra tergolong peti yang sangat berat karena dibuat dari kayu jati zaman dahulu. Tak percaya rasanya jika membayangkan bagaimana beban orang-orang zaman dahulu yang menunaikan ibadah haji dengan membawa syahra yang sangat berat menggunakan kapal laut selama berhari-hari di perjalanan.

Lain buaya lain syahra. Ternyata NTB memiliki koleksi kayu yang merupakan hasil hutan produksi NTB. Kayu tersebut antara lain kayu Lingsar, kayu Rajumas (Duabanga molucara), Kayu Jati (Tektona gradis), kayu Sentul (Sondarium) dan kayu cempaka (Michelia campaca). Hutan dikatakan masih produktif jika kaya akan kupu-kupu di dalamnya. Berkaitan dengan hal itu ternyata Museum juga memiliki banyak koleksi kupu-kupu yang sebagian ditampilkan di ruang pameran. Yaitu 35 kupu-kupu Lombok dan 20 kupu-kupu Sumbawa. “Koleksi kupu-kupu ini adalah salah satu koleksi yang paling diminati oleh para pengunjung”, ungkap ibu Syaraswati.

Satu lagi koleksi unik dari 7544 koleksi lainnya. Koleksi itu adalah mata uang zaman dahulu yang dijadikan alat pembayaran oleh masyarakat Lombok. Berawal dari pembayaran secara barter hingga menggunakan bulu ayam, dan kemajuan ilmu dan teknologi zaman dahulu membawa masyarakat untuk melakukan pembayaran dengan ‘uang Ma’. Uang ma merupakan uang kepingan yang berukuran kecil seperti kancing baju. Alat tukar per keping yang dapat dihargai dengan seekor kerbau (1 keping dapat 1 kerbau) tersebut, ditemukan di Lombok Timur. “Dulu uang ma ini ditemukan oleh petani yang sedang menggali lahan pertaniannya di daerah Selong”, ceritanya. Baru kemudian sebelum abad XV warga NTB menggunakan mata uang cina yang dikenal dengan kepeng bolong.

Untuk memperluas pengetahuan para pengunjung yang umumnya adalah siswa dan mahasiswa, pihak museum punya trik-trik khusus. Antara lain dengan cara membuat buku panduan yang berisi garis-garis besar tentang koleksi-koleksi yang terdapat di Museum. Ibu Syaraswati menjelaskan, “Menurut UU SISDIKNAS tahun 2003, Museum memiliki tempat yang terhormat sebagai salah satu sumber belajar bagi pelajar. Sehingga kami membuat buku panduan yang sesuai dengan kurikulum sekolah”, ungkapnya. “Misalnya untuk tingkat SMA kami telah membuat buku panduang yang berkaitan dengan mata uang dan topeng. Tingkat SD kami banyak menjelaskan tentang sejarah local mulai dari peninggalan sejarah NTB dan kerajinan Tradisional. Untuk SMP kami banyak membahas tentang muatan local terutama aksara sasak. Sedangkan tingkat mahasiswa lebih banyak yang tertarik dengan sejarah local dan koleksi geological serta potensi alam NTB”, tambahnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Blog Kampung Media

http://www.youtube.com/watch?v=vG8vV27O8mI. Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Followers