Seorang penderita diabet, ketika ditawarin makanan kue yang sangat enak dan lezat. Seketika ia berkata, dokter melarang saya umtuk saya makan ini. Perhatikan sungguh tidak sedikit manusia yang sangat patuh kepada dokter, tetapi kepada Allah tidak demikian. Padahal Allah jauh lebih luas pengetahuan-Nya dari pada seorang dokter.
”Percaya” adalah kekuatan untuk patuh, seperti patuhnya seorang pasien yang sangat percaya kepada sang dokter. Percaya dalam Islam disebut iman. Iman harus berkaitan dengan yang ghaib. Sebab ia merupakan kebutuhan ruhani. Karenanya di pembukaan surah Al-Baqarah:3, Allah berfirman: ”Alladziina yu’minuuna bilghaibi (yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib).” Berdasarkan ayat ini maka iman itu harus berkaitan kepada yang ghaib. Seperti beriman kepada Allah, para malaikat dan wahyu yang turun kepada para rasul, itu semua adalah ghaib. Dan ternyata ini adalah kebutuhan fitrah manusia. Inilah makna fithrah yang Allah firmankan:
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (30:30)
Jadi pada dasar penciptaannya manusia telah dibekali iman. Dalam surah Al-A’raf: 172, Allah berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Inilah persaksian setiap janin, ketika masih dalam rahim ibunya, ia telah dengan jujur mengakui keimanannya kepada Allah. Inilah makna hadits Nabi saw. Yang sangat terkenal:
“Kullu mawluudin yuuladu ‘alal fithrah (setiap bayi yang baru lahir, ia lahir dalam keadaan fitrah (maksdunya berimana kepada Allah swt).”
Hadits ini menegaskan bahwa menjadi orang beriman adalah sesuatu yang fitrah. Setiap kita sesungguhnya membutuhkan untuk menjadi orang yang beriman, sebab hanya dengan menjadi orang beriman kita akan bisa memenuhi kebutuahn jasmani maupun ruhani kita dan sekaligus akan mengantarkan kita mencapai kebahagiaan hakiki.
Sayangnya kemudian bahwa materialisme telah menyeret manusia untuk hanya menekuni kebutuhan fisiknya. Akibatnya tidak sedikit diantara kita selalu sibuk dengan hal-hal yang berupa benda. Bahkan yang lebih parah mereka berusaha untuk membendakan yang ghaib. Itulah asal-muasal munculnya matahari, patung, pohon besar dan lainya dianggap sebagai tuhan. Mereka merasa kurang puas kalau tuhan yang mereka sembah tidak nampak. Kecendrungan materialistic begitu mewarnai kehidupan kita. Sehingga semua aktifitas kita kemudian hanya dihitung dengan keuntungan-keuntungan materi. Hubungan persahabatanpun kemudian juga dibangun diatas dasar kepentingan-kepentingan yang tidak jauh dari hal-hal yang berbau materi. Kita enggan untuk melaksanakan suatu pekerjaan jika tidak ada nilai materi. Semua aktifitas kita digerakkan oleh materi. Keikhlasan yang merupakan bukti dari keimanan menjadi sesuatu yang langka. Hal ini karena kita terjebak dalam pola pikir materiaslistik. Padahal tabiat iman harus selalau berkaitan dengan yang ghaib. selama kecendrungan materialistik tetap menguasai dan diutamakan di atas segalanya, otomatis keimanan akan terkesampingkan. Dan mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya iman, dan itu berarati juga tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dari sinilah kekeringan ruhani terjadi.
Semua orang sebenarnya ingin bahagia. Tetapi banyak dari mereka yang tidak menemukan kebahagiaan itu.
Yang banyak terjadi adalah bahwa Allah sering dikesampingkan. Shalat diabaikan karena rapat dan lain sebagainya. Seharusnya seorang muslim waktunya diseting oleh shalat, bukan dia yang menseting shalat. Demikinlah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya mencontohkan hal ini.
Maka selama kepatuhan kepada Allah dianggap sampingan, iman tidak akan pernah berdaya. Dan akibatnya kebahagiaan hakiki tidak bisa dicapai. Sebaliknya ketika keimanan benar-benar menggelora, lalu dibuktikan dengan kepatuhan yang jujur dan maksimal kepada Allah, maka kebahagiaan akan tercapai.
Mudah-mudahan Allah menganugrahkan kepada kita keiimanan yang sempurna, keyakinan yang benar, dan memberikan kita kekuatan untuk menjalanan semua aktifitas kita berdasarkan iman, sehingga kita bias mencapai kebahagiaan hakiki, di dunia maupun di akhirat.
0 komentar:
Posting Komentar